Iklan

logo

Mbah Marto Rejo Pria Berusia 121 Tahun Yang Hidup Sejak Era HB VIII Hingga Sekarang


 

Saptosari (AuraGunungkidul.com) - Salah satu bagian dari legenda di pesisir selatan Gunungkidul adalah di Padukuhan Bedalo, Kalurahan Krambilsawit Kapanewon Saptosari kabupaten Gunungkidul DIY. Dinamakan Bedalo, konon diceritakan sesepuh setempat bahwa pada saat peristiwa pelarian Prabu Brawijaya V (Raja terakhir Majapahit) ketika dikejar oleh putranya yaitu Raden Patah (Raja Demak I) untuk di-Islamkan sampailah ke tempat ini. 

Pada saat itu, pikiran kalut Prabu Brawijaya V mengalami "Bedah dan Loear" (pecah dan keluar) yang berarti menemukan jalan keluar. Apa yang sedang dialaminya pada akhirnya menemukan pencerahan hingga membawanya berjalan ke suatu tempat yang sekarang bernama pantai Ngobaran (pantai yang memiliki candi Hindu).

Mbah Marto Rejo adalah sosok pria yang telah hidup di era Sri Sultan HB VIII, beliau lahir di tahun 1899 yang saat ini genap berumur 121 tahun. Saat ini beliau merupakan sesepuh Dusun Bedalo, di mana Dusun bedalo merupakan daerah yang syarat dengan sejarah.

Suasana pemandangan di dusun Bedalo betul-betul asli, asri dan sangat indah. Perumahan warga terletak di kontur geografis berbukit. Udara pesisir pantai membuat hawa pedesaan sangat sejuk bebas polusi walaupun sinar matahari musim kemarau yang panas tak terasa menyengat. Keramahan warga yang familiar menambah pengalaman berkunjung menjadi tak terlupakan.

"Dulu saya sering melakukan pisowanan ke keraton Yogyakarta guna mendapat dawuh dari Kanjeng Sri Sultan HB VIII, saat saya masih menjadi juru kunci Pantai Ngobaran", ucap Mbah Marto.

Beliau juga memahami betul perihal cerita sejarah pelarian Prabu Brawijaya V, yang lari dari kejaran putranya sampai di Dusun Bedalo baru kemudian Ke pantai Ngobaran.

"Dusun ini adalah wiwitan dan Pungkasan " Terang Mbah Marto.

Dusun di mana warganya masih memegang teguh warisan budaya dan adat tradisi ini, akan memberikan pembelajaran betapa hidup ini harus selalu mengabdi kepada Gusti. Menerima apapun ketentuan-Nya sebagai pemberian yang terbaik. Warga yang kesehariannya bertani musiman di tegalan (ladang) di lereng perbukitan seribu dan sebagian lain mencari rejeki di pinggiran pantai sebagai pencari karangan (rumput laut), ngrendet (menangkap lobster), mengail dan menjaring ikan, mengajarkan kita bagaimana kerasnya hidup tak mematahkan semangat, justru menjadikan nuansa kehidupan di dusun semakin harmoni, tenang dan bahagia. 

Benar-benar sebuah keadaan yang patut untuk dipelajari dalam program "Culture Study". Suasana home stay merupakan suasana perumahan warga yang sengaja tidak diseting untuk kebutuhan penginapan bisnis demi mempertahankan keaslian pola hidup bermasyarakat yang masih original.

Sumber :smtourtravel.online

( GalineAs )



Posting Komentar

0 Komentar