(Redaksi)
Tonton Juga
Menurut informasi kratonjogja.id, tempat yang terkenal dengan sebutan Kahyangan ini merupakan lokasi tafakur Danang Sutawijaya dalam bermunajad kepada Allah SWT, sebelum ia dan ayahnya, Ki Ageng Pemanahan mulai membuka alas Mentaok (sekarang Kotagede) sebagai hadiah dari Sultan Hadiwijaya Pajang (Jaka Tingkir) yang akhirnya menjadi awal berdirinya Keraton Mataram Islam di Jawa. Pemberian wilayah ini merupakan hadiah Sultan Pajang tersebut, atas jasa penumpasan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh Arya Penangsang kepada Kerajaan Pajang.
Kesan pertama yang muncul ketika menginjakkan kaki awal mula di sini, langsung terasa aura spirit yang begitu hebat. Setelah beberapa saat berjalan dari parkiran menuju lokasi pertapaan yang mulai menanjak, suasana alamnya memang sangat menenteramkan. Angin semilir dengan temperatur yang sangat sejuk. Benar-benar sesuai namanya, Kahyangan yang berarti surga. Pohon-pohon yang sangat besar diperkirakan ratusan bahkan mungkin ribuan tahun usianya, mengelilingi seluruh areal wisata bernuansa spiritual ini. Di sisi kanan terdapat sebuah aliran sungai yang cukup deras airnya, menyempurnakan gambaran keberadaan surga dalam kitab suci, hanya saja ini versi dunianya.
Beberapa langkah menapaki jalan setapak ke atas, tibalah di sebuah tempat yang bernama 'Sela Bethek'. Tempat ini merupakan lokasi pertama Danang Sutawijaya yang kelak bergelar Panembahan Senapati Ing Ngalaga Kalifatullah Sayyidin Ing Panatagama melakukan tafakur.
Bentuknya berupa batu besar yang memiliki celah ke dalam sehingga bisa digunakan untuk berteduh.
"Tempat ini dipakai Danang Sutawijaya pada saat pertama melakukan tapa. Selang beberapa waktu dirasa belum mendapatkan bisikan ilham maka beliau berpindah tempat ke sisi atasnya lagi yang bernama 'Sela atau Watu Payung'," terang Suwarto, juru kunci Kahyangan saat ini.
Sebelum sampai di areal Watu Payung, jika traveler datang ke sini harus melewati gerbang alam berupa dua batu andesit besar yang saling bertemu dan menyisakan sedikit celah sebagai akses masuk ke lokasi selanjutnya. Tempat ini disebut Watu Gapit atau 'Sela Panangkep'.
Setelah melewati Sela Panangkep ini, barulah tiba di lokasi utama tempat bertafakur Danang Sutawijaya yang terkenal dengan sebutan 'Watu Payung'. Bentuknya mirip Sela Bethek namun lebih besar dan memiliki ruang yang lebih lebar. Di sinilah beliau melakukan ritual bertafakur menghadap Sang Maha Pencipta dan Pemberi Petunjuk, Gusti Allah SWT.
"Dalam prosesi ritual bertafakur, beliau tidak secara terus menerus melakukan bertapa. Namun juga aktivitas ritual lainnya sesuai ajaran agama, seperti sholat wajib lima waktu dan sebagainya. Untuk membantu memenuhi kebutuhan hariannya, beliau dibantu oleh nyai Puju, warga desa setempat yang suka rela membantu beliau," sambung Suwarto menjelaskan.
Oleh karena aktivitas seperti halnya seorang muslim pada umumnya, hanya saja dilakukan dalam suasana menepi maka Danang Sutawijaya juga memiliki tempat pesholatan yang bernama 'Watu Pasujudan'. Berlokasi beberapa saat berjalan di atas Watu Payung. Di mana di bawah lokasi ini terdapat sebuah 'kedung', lokasi genangan air sebagai hulunya sungai yang terdapat dua mata air terjun yang cukup deras alirannya. Di sinilah beliau bila melakukan mandi.
"Di kedung ini, menurut sejarah sebagai salah satu tempat keramat. Karena di tempat ini beliau bertemu dan melakukan perjanjian dengan kanjeng Ratu Kidul. Bahwa kanjeng Ratu bersedia membantu Danang Sutawijaya mewujudkan keraton bila beliau bersedia memperistrinya," Suwarto menambahkan.
"Namun beberapa saat pertemuan tersebut menjadi 'badar' (terputus) dikarenakan kyai Puju yang sedang mencari istrinya, nyai Puju, mengetahui proses pertemuan tersebut. Seketika kanjeng Ratu kaget dan bergegas pergi menghilang sembari berpegangan pada tasbih Danang Sutawijaya, serta merta biji tasbih pun berpencar masuk ke dalam air di kedung tersebut," lanjut Suwarto.
Setelah kejadian itu, banyak warga yang percaya bahwa barang siapa yang dapat menemukan biji-biji tasbih Danang Sutawijaya maka juga akan menerima karomah seperti halnya beliau.
"Salah satu tempat bertafakur juga ada yang berupa 'Watu Gowok", batu yang berlobang sebesar tubuh manusia di tepian sungai," sahut Suwarto dalam obrolan terakhirnya.
Ia juga menceritakan bahwa tugasnya di sini selain sebagai abdi dalem keraton Jogja yang merawat lokasi bersejarah ini, ia juga kerap dimintai tolong para peziarah untuk melantarkan doa kepada Allah atas keinginan yang dihajatkan. Ia pun suka rela melakukan itu semua sebab sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai abdi dalem.
Di belakang tempat yang biasa didudukinya ada sebuah pesan tertulis yang menggelitik dan mengingatkan iman semua pengunjung, bahwa "Hidup tanpa usaha itu bohong. Dan usaha tanpa doa itu sombong." Sebuah nasehat yang patut diingat agar siapa pun dijauhkan dari dua perkara yang menyesatkan tersebut.
Terlepas dari benar dan tidaknya Kahyangan menjadi saksi bisu perjanjian antara Danang Sutawijaya dengan Ratu Kidul dalam mewujudkan berdirinya Keraton Mataram, sebagai seorang yang beriman hendaknya kita tetap yakin bahwa alam ghaib itu ada dan benar adanya. Manusia dan bangsa jin diciptakan tak lain hanya untuk beribadah kepada-Nya.
"Korban nekat gantung diri dengan seutas tali berwarna biru,"jelas Kapolsek Saptosari AKP Awal Mursayanto.
Tim medis pun segera datang untuk memeriksa korban. Namun setelah selesai pemeriksaan, tidak ditemukannya tanda-tanda penganiayaan pada tubuh korban. Korban murin meninggal dengan cara gantung diri. Menurut informasi yang berhasil dihimpun AuraGunungkidul.com, Kasminah nekat mengakhiri hidupnya dikarenakan himpitan ekonomi.
Akibat dari bentuk struktur tekuk, ombak di pantai Ngrenehan cukup tenang sehingga cocok sekali bagi para wisatawan jika ingin bermain air di laut. Dataran di pinggir pantai cukup landai sehingga anak-anak bisa merasakan bagaimana asyiknya berenang di laut. Di pantai ini, wisatawan juga bisa berfoto bersama keluarga dengan latar belakang kapal nelayan maupun panorama pantai itu sendiri.
Saat memasuki wilayah pantai Ngrenehan di Gunungkidul, wisatawan akan disambut dengan deretan warung-warung yang menjajakan makanan khas hasil laut. Di antara warung-warung tersebut terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan bangunan berbentuk joglo di sebelah kanan ketika menghadap ke laut.
Pantai Ngrenehan memiliki garis pantai yang tidak begitu luas. Panjangnya hanya sekitar 100an meter. Pantai ini diapit oleh dua batu karang yang cukup besar dan menjorok ke laut. Sehingga batu ini termasuk menjadi penghalang ombak besar yang tidak langsung menghempas ke pantai, selain pebukitan karst di kanan kirinya yang berbentuk tanjung.
Jika berkunjung ke pantai ini, para wisatawan dapat secara langsung mengamati kegiatan nelayan lokal yang masih menangkap ikan dengan cara tradisional. Wisatawan juga bisa secara langsung belajar bagaimana cara menangkap ikan dengan baik dan benar tanpa merusak ekosistem.
Sebagian masyarakat Gunungkidul menyebut Pantai Ngrenehan sebagai pantai nelayan. Karena mayoritas masyarakat di pesisir pantai bermata pencaharian sebagai nelayan. Biasanya para nelayan ketika melaut berangkat pukul 04.00 pagi hingga pukul 9.00 pagi. Hasil tangkapan nelayan kemudian di tampung ke TPI untuk dijual kembali ke pengepul.
Dalam sejarah, pantai Ngrenehan ini merupakan pemberian dari kerajaan Demak pertama, yakni Raden Patah. Pada saat itu Raden Patah datang ke pantai ini untuk mencari ayahnya, Prabu Brawijaya V yang lari dari utara karena menolak masuk Islam.
Kala itu, Sang Raja dalam mencari ayahnya yang ingin diajak masuk Islam, sampailah di pantai ini. Namun beliau tetap tidak menemukan ayahnya, sang Prabu Brawijaya V.
Dari peristiwa inilah muncul istilah nama pangrena yang berarti ajakan. Kata pangrena berasal dari kata 'reneh' yang memiliki arti 'sini'. Kemudian masyarakat sekitar mulai waktu itu menyebut pantai ini menjadi Ngrenehan yang berarti kemarilah. Kata reneh diberi imbuhan Ng dan an sehingga jadilah nama pantai Ngrenehan, penyebutan yang menunjukkan suatu tempat.
Kejadian ini sempat direkam oleh beberapa warga dan di unggah ke media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter dan story WhatsApp.
Bambang Haryanto selaku Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Wonogiri mengatakan bahwa angin puting beliung tersebut terjadi sekitar pukul 15.30.
"Kejadian angin puting beliung terjadi kurang lebih sekitar 15 menit,"kata Bambang saat dilansir dari kompas.com
R. Gagak Pernolo I diangkat menjadi Tumenggung wilayah Loano dengan gelar K.R.M.T Gagak Pernolo I bersamaan dengan Nilosrobo menjadi Adipati Nilosrobo I di Bagelen. Mereka berdua diangkat oleh Sultan Agung Hanyokro Kusumo. Singkat Cerita, K.R.M.T Gagak Pernolo I memili anak laki-laki dengan sebutan Gagak Pernolo II.
K.R.M.T Gagak Pernolo II adalah seorang ulama yang hafidz Quran, sekaligus sebagai Tumenggung di Tanggung wilayah Loano, di era Mataram.
Beliau mangkat dan dikebumikan di Desa Sidomulyo, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Pemakaman sakral ini terletak di atas bukit, seperti lumrahnya orang-orang misuwur selalu dimakamkan di atas bukit atau gunung, untuk menunjukkan derajat dan jasa beliau yang sangat tinggi.
K.R.M.T Gagak Pernolo II terkenal sebagai seorang Al Alim yang menjadi hafidz Al Quran. Hal ini bisa jadi merupakan karomahnya yang sangat luar biasa. Hingga garis keturunannya, kebanyakan menjadi ulama-ulama besar dan orang-orang hebat. Salah satu yang masih hidup di masa sekarang adalah K.H.R. Ibnu Hajar Sholeh Gagak Pernolo atau akrab dipanggil Mbah Benu. Pendiri Jamaah Masjid Aolia’ ini tinggal di Panggang, Kabupaten Gunungkidul DIY. Dari masa muda hingga saat ini, mbah Benu menjadi salah seorang yang memiliki pengaruh, terutama di Gunungkidul.
Berikut adalah silsilah dari mbah Benu Panggang.
K.H.R. Ibnu Hajar Sholeh Gagak Pernolo ( Mbah Benu Panggang ) bin Kyai R. Sholeh Dipo Admojo bin K.H.R Abdullah Sindi ( Kyai Abdul Ghoni ) bin K.H.R Yunus Mohammad Irsyad ( Pembuat Beduk Purworejo ) bin K.R.M.T Dipo Dirjo I bin R. Demang Surodrono bin K.R.M.T Gagak Pernolo III bin K.R.M.T Gagak Pernolo II bin K.R.M.T Gagak Pernolo I bin Ki Ageng Wayah bin Ki Ageng Lebe bin Ki Ageng Gadeg bin Ki Gusti Tanggung bin Adipati Anden II bin Adipati Anden I bin R. Haryo Bangah ( Kakak dari Prabu siliwangi dan Raden Wijaya ) bin Prabu Munding Pamekas ( Pajajaran IV ) bin Prabu Munding Wangi/Syaikh Jambu Karang/Sunan Lawu( Pajajaran III ) bin Prabu Munding Sari ( Pajajaran II ) bin Prabu Banjaran Sari ( Pajajaran I ) bin Prabu Maheso Tanderman ( Jenggala III ) bin Prabu Panji Asmoro ( Jenggala II ) bin Prabu Lembu Amiluhur ( jenggala I ) bin Prabu Resi Jetayu ( Purwo Carito III ) bin Prabu Joyo Lengkoro ( Purwo Carito II ) bin Prabu Sri Moho Punggung ( Purwo Carito I ) bin Prabu Suwelo Colo ( Medang Kamolan ).
Menelisik dari sekilas cerita di atas, bisa disimpulkan bahwa kata pepatah memanglah benar adanya. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Orang-orang hebat akan menurunkan orang yang hebat pula. Baik secara spiritual di hadapan Gusti dan sosialnya di hadapan sesama. Mari kita berusaha menjadi orang-orang hebat, agar generasi muda selanjutnya meniru jejak langkah kita, mengusahakan yang terbaik bagi bangsa, negara dan keluarga.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali ‘Imran : 145).
Sumber silsilah : K.H.R. Muhammad Yusuf Sholeh Gagak Pernolo, SH, (Purworejo), adik kandung K.H.R. Ibnu Hajar Sholeh Gagak Pernolo (mbah Benu).